Kegagalan Negara Melindungi Pembela HAM: Kasus Kriminalisasi Petani di Desa Pakel oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi

Pada tanggal 26 Oktober 2023, Pengadilan Negeri Banyuwangi kembali memberikan putusan yang tidak adil terhadap tiga warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Mereka dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara atas tuduhan menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan keresahan, padahal bukti-buktinya lemah dan desa tersebut tengah menghadapi konflik agraria atas tanah.

Sebelumnya Pengadilan Negeri Banyuwangi juga memberikan putusan serupa tidak adil kepada tiga warga Desa Alasbuluh, Wongsorejo yang memprotes dampak tambang batu bara yang merusak jalan desa dan menimbulkan debu. Mereka divonis 3 bulan penjara karena dianggap menghambat kegiatan pertambangan, padahal mereka hanya menuntut hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kasus serupa terulang pada tiga petani Desa Pakel. Majelis hakim tidak mempertimbangkan konteks bahwa Desa Pakel menghadapi konflik agraria atas ketimpangan penguasaan lahan. Dari total luas desa 1309,7 hektar, warga desa yang berjumlah 2760 jiwa hanya menguasai 321,6 hektar. Sisanya dikuasai oleh perusahaan HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 hektar dan Perhutani seluas 716,5 hektar. Maka warga berjuang memperoleh hak atas tanah tersebut.

Dalam persidangan, hakim dianggap telah bersikap prejudice dengan menganggap Trio Pakel bersalah sebelum adanya putusan. Hal ini ditunjukkan sejak sidang pertama hingga sidang ke-9.

Persidangan dilakukan di Pengadilan Negeri Banyuwangi, namun di dalam ruang sidang banyak diisi aparat kepolisian. Hal ini bertentangan dengan UU yang menjamin terdakwa mendapatkan rasa aman. Pengadilan juga membatasi pengunjung sidang, padahal UU menjamin sidang terbuka untuk umum.

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara sangat keliru karena sama sekali tidak mempertimbangkan fakta konflik agraria di Desa Pakel. Misalnya, surat dari BPN yang menguatkan bahwa awalnya HGU PT Bumisari tidak berada di Desa Pakel. Ini menunjukkan memang ada sengketa tanah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.

Kemudian akta tahun 1929 juga tidak dipertimbangkan meski telah dilegalisir notaris. Terkait keabsahan akta seharusnya menjadi wewenang BPN, bukan pengadilan pidana. Keterangan dari KLHK yang menyatakan akta tidak sah juga tidak dapat diterima karena di luar kewenangan dan keterangannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kasus ini menjadi bukti bahwa negara turut melakukan teror untuk menyebarkan ketakutan bagi warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan sumber penghidupannya. Negara gagal memahami peran pembela HAM yang sebenarnya.

Kasus ini menghambat upaya penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel. Tiga warga tersebut menjadi korban kriminalisasi karena memperjuangkan haknya. Bentuk kriminalisasinya antara lain: penangkapan sewenang-wenang tanpa surat perintah, penetapan tersangka tidak sah. Namun hakim mengabaikan konteks konflik agraria tersebut dalam putusannya.

Kasus ini membuktikan negara gagal memahami tiga petani tersebut sebagai pembela HAM yang mempertahankan tanah dan sumber penghidupan mereka, bukan sebagai penjahat. Bentuk kriminalisasi ini merupakan kegagalan negara.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top