Media Sosial Sebagai Kritik Politik Oligarki Di Tahun 2024

Politik adalah ilmu yang mempelajari politik, politik atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita biasa mendengar pepatah jawa kuno “gemah ripah loh jinawi”. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles mengartikannya sebagai en dam onia atau the good life. Mengapa politik dalam arti ini sangat penting? Karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi keterbatasan sumber alam, atau perlu dicari suatu cara distribusi sumber daya agar semua masyarakat merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik. Bagaimana caranya mencapai tujuan yang mulia itu? Usaha itu dapat dicapai dengan banyak cara, yang kadang-kadang bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya bisa dicapai ketika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang sudah ada. Para sarjana politik lebih cenderung untuk menekankan salah satu saja dari berbagai konsep ini, akan tetapi selalu sadar terkait pentingnya konsep-konsep lainnya.

Dengan demikian kesimpulan bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power) pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution)

Oligarki (dari bahasa Yunani ὀλιγαρχία (oligarkhía), artinya “diperintah oleh segelintir orang”; dari ὀλίγος (olígos), artinya “sedikit”, dan ἄρχω (archo), artinya “memerintah atau memerintah”, adalah bentuk kekuasaan terletak di tangan segelintir orang. Oligarki kerap diasosiasikan dengan kalangan elite yang mengendalikan secara penuh partai politik atau institusi politik lainnya. Oligarki juga kerap dipahami sebagai sekolompok elite yang korup dalam mengelola sumber daya publik. Dalam kajian ekonomi, oligarki dipahami sebagai entitas yang memonopoli kekayaan yang menjadi masalah bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dengan kata lain, dalam diskusi publik yang ada oligarki sering dirujuk sebagai entitas elite yang berperilaku sangat buruk serta kemaruk dan karena itu menciptakan masalah bagi tatanan masyrakat serta kekuasaan yang jahat.

Namun demikian, pandangan yang menekankan pengertian oligarki semata mata sebagai entitas yang buruk itu kurang memadai. Di sinilah kepopuleran konsep oligarki yang dianggap dapat menjelaskan apa pun (karena ia selalu diacu dalam banyak analisis) akhirnya tidak mampu menjelaskan apa pun (karena ketidak jelasan konsepnya sendiri).

Sejak Januari 2022, Media social Instagram memiliki 1.48 miliar pengguna aktif dan menempati posisi ke-4 (empat) media sosial terpopuler menurut Statista.  Internet saat ini memiliki peran yang sangat bagus dalam proses pembentukan dan penguatan branding. Penggunaan internet sebagai media personal branding sudah digunakan sejak media sosial mulai digunakan sebagai media alternatif dalam mencari dan menyebarkan informasi, dan kini calon presiden semakin gencar melakukan upaya penguatan self-branding melalui internet. Selain menggunakan website resmi, media sosial menjadi pilihan terbaru bagi setiap kandidat untuk lebih dekat dengan masyarakat, karena dari segi interaksi, melalui media sosial masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk dapat saling berkomunikasi dengan kandidat, terlepas dari apakah orang yang mengelola itu adalah kandidat. sendiri, atau ada admin khusus yang mengelolanya.

Dari upaya meningkatkan citra masing-masing caleg melalui personal appeal dan re-branding, pada akhirnya kita bisa melihat kepopuleran caleg melalui media sosial. Tulisan ini akan membahas terkait mengubah pola pikir masyarakat agar tidak  terhegemoni oleh media sosial akan maraknya janji politik di tahun 2024 atau “media sosial sebagai kritik politik oligarki 2024”.

Pengaruh Penggunaan Media social online Twitter, facebook, instagram, blogger, youtube dan berbagai jejaring sosial dalam Kampanye berangkat dari aksioma komunikasi ini, teknologi yang menjadi media dalam komunikasi terus berkembang dari hari ke hari. Kemajuan teknologi dalam komunikasi ini sendiri serta membawa pengaruh dalam kehidupan manusia baik dalam perihal ekonomi, sosial budaya serta juga politik. Bidang politik lumayan banyak terpengaruh oleh teknologi komunikasi sendiri. Komunikasi sangat berarti serta dibutuhkan dalam politik dan ialah salah satu bagian dari aktivitas politik itu sendiri. Kampanye politik juga kerap mempergunakan media komunikasi di dalamnya. Media online jejaring sosial selaku salah satu produk teknologi komunikasi lumayan banyak dipergunakan dalam kampanye pemilu konsep McLuhan yang melaporkan kalau teknologi merupakan media jadi konsep bawah yang jadi landasan dalam analisis permasalahan ini. Dari konsep McLuhan ini turun ke dalam sebagian teori yang mempunyai kaitan serta pula bisa jadi pisau analisis dalam bermacam permasalahan yang terdapat dalam bidang politik. Hasil dialog dan kesimpulan merupakan teknologi komunikasi yang senantiasa tumbuh menimbulkan pengaruh pada bidang politik lewat aktivitas kampanye yang saat ini dikembangakan lewat media baru serta bisa nampak terdapatnya technological deternism yang terdapat di tengah warga karena banyaknya orang yang begitu ketergantungan dengan guna teknologi sehingga kehidupan sangat dipahami oleh teknologi. Selaku makhluk sosial, manusia tidak hendak sempat dapat hidup sendiri serta perihal ini juga membetulkan salah satu aksimoma dari komunikasi kalau” we cannot not communicate.” Benar sekali jika manusia tak bisa untuk tidak berkomunikasi.

Keterlibatan masyarakat muncul melalui media online yang lain seperti pada media sosial facebook, twitter, instagram dan lainnya. Media online instagram digunakan guna menunjang dan menyampaikan aspirasi oleh masyarakat karna dianggap lebih mudah serta murah dan langsung dikelola oleh tiap orang. Baik dari kalangan menengah atas maupun kalangan bawah sekalipun, media online instagram dirasa bisa menjadi alternatif untuk melakukan komunikasi politik dan strategi pencitraan pada era sekarang. Sifat media online instagram yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun melalui jaringan internet, membuat informasi lebih cepat sampai kepada publik. Sudah tidak lagi harus pulang ke rumah menonton di layar televisi, hanya dalam genggaman, informasi yang diproduksi oleh stasiun televisipun sudah bisa diakses melalui handphone. Sasaran utama bagi paslon dalam mendulang suara lebih banyak melalui media online adalah suara para kaum milenial. Kaum milenial dianggap cukup aktif dalam menggunakan media online instagram, oleh karenanya media layer pada handphone melaui citra yang dihasilkan dari instgram terutama, bisa menjadi objek untuk memproduksi pesan komunikasi politik dan dapat mendongkrak elektabilitas paslon. Hal ini dikuatkan kembali pada gelaran yang akan dilaksanakan pada pilpres tahun 2024.

Saling rebut suara milenial terjadi pada kubu paslon, yang membedakan atau perubahan yang terjadi lagi adalah soal bagaimana adu gagasan, adu program yang dilakukan oleh paslon. Komunikasi politik dibangun atas citra pasangan calon, jika semuanya tampak positif, masyarakat juga akan mengalami kemajuan, kedewasaan dalam berpolitik. Masyarakat lebih mudah mendapatkan pendidikan politik serta tawaran-tawaran yang jauh akan membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat akan semakin dewasa dalam memilih, jika isu-isu yang dibangun adalah sesuatu hal yang positif dan mendorong publik untuk terlibat memberi solusi dari permasalah yang sedang dihadapi sekarang oleh bangsa Indonesia.

Harapan kosong lima tahunan itu mulai banyak terdengar di media sosial. Publik terpaksa memandang hiruk pikuk partai politik (parpol) yang lagi mempersiapkan jagoannya di Pemilu 2024. Baik parpol ataupun elite nasional sudah mempersiapkan koalisi baru. Ada yang telah mendeklarasikan bakal calon presiden, terdapat pula yang masih menimang-nimang. Tidak hanya terbentur ketentuan resmi ambang batasan dua puluh persen, kekuatan aliansi bisnis serta politik sudah menutup rapat peluang calon presiden buat maju tanpa sokongan mereka. Politik Indonesia memanglah sudah berganti sehabis Orde Baru tumbang, tetapi konfigurasi aliansi kekuasaannya senantiasa sama.

Politik pasca- Orde Baru sudah membuka kotak pandora yang sepanjang puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto, ialah terdistribusinya kekuasaan di bermacam ruang politik, tidak terkecuali di badan parpol. Parpol yang berkecambah tumbuh sepanjang periode ini merupakan hasil inkubasi aliansi bisnis serta politik, yang tidak pelak jadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan- kapital.

Kenyataan tersebut nampak dari relasi- relasi di dalam parpol dengan kekuatan kelas borjuasi. Aliansi bisnis serta politik kian kokoh serta mendominasi parpol hari ini. Partai Golongan Karya (Golkar) wajib ditempatkan di catatan awal. Partai bentukan Orba ini tidak cuma terus jadi pemain berarti dalam konstelasi politik hari ini, tetapi juga sudah melahirkan dan membesarkan klik- klik borjuasi yang membentuk partai- partai baru. Sebut saja Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra; Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Wiranto yang mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Aliansi bisnis serta politik ini apalagi melumpuhkan tokoh- tokoh reformis yang lebih dahulu digadang- gadang jadi harapan baru. Partai- partai yang mereka dirikan malah tidak memiliki pengaruh apa juga dalam mendesak proses penghancuran kekuatan oligarki tersebut. Kita saksikan itu pada Amien Rais yang menginisiasi Partai Amanat Nasional (PAN), Megawati Soekarnoputri yang mengetuai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendaku selaku partai dari- oleh- dan- untuk kader. Energi hidup serta pengaruh dari parpol- parpol ini seluruhnya bergantung pada gimana konflik serta kolaborasinya dengan kekuatan- kekuatan oligarkis.

Kenyataan politik kepartaian tersebut sudah menampilkan ingkarnya janji- janji Reformasi. Masyarakat negara dihadapkan pada harapan kosong atas transformasi politik yang lebih baik pasca- krisis. Demokratisasi yang disuntikkan lewat jadwal ekonomi neoliberal pasca- krisis ekonomi Asia (1997) tampaknya tidak membuat corak kekuasaan kita berganti secara substansial. Lembaga- lembaga baru, tercantum rezim elektoralnya, cuma membuat terdistribusinya kekuasaan lama ke medium baru, tidak terkecuali parpol. Parpol yang sepatutnya jadi wahana perjuangan politik masyarakat negeri lagi- lagi tersandera kekuatan lama yang bengis: oligarki.

Dari kenyataan tersebut, kita pantas skeptis terhadap janji pergantian lewat proses pemilu yang tersampaikan  dimedia sosial untuk masyrakat.

  1. Pendekatan relasi oligarki sebagai analisis

Realitas politik pemilu hari ini dapat dibaca salah satunya dengan pendekatan analisis oligarki. Argumen utama teori ini, sebagaimana dikemukakan oleh Robison dan Hadiz , adalah bahwa relasi oligarki merupakan sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan serta pertahanan kekayaan.

Relasi oligarki sudah mendasari beroperasinya tatanan ekonomi- politik serta pertumbuhan sosial yang lebih luas, dipertahankan serta direproduksi lewat aliansi predatoris yang terjalin antara politisi-birokrat dengan pengusaha. Aliansi ini tercipta sebab persaingan kepentingan antara politisi- birokrat yang mempunyai sumber daya terbatas dengan pengusaha yang memerlukan akses ke politik serta hukum. Mereka bersama bertujuan mengakumulasi dan mempertahankan kapital serta kekuasaan.

Perlu digaris bawahi bahwa pendekatan ini sering dianggap sama dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Winters. Secara umum, bagi Winters, oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh para aktor (oligarki) yang memiliki kekayaan materi yang melimpah. Aktor-aktor ini terkadang bertindak secara kolektif, tetapi seringkali tidak.

Politik pemilu adalah salah satu saluran para oligarki untuk mempertahankan kekayaan. Oligarki dapat memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung dengan elit politik. Dalam praktiknya, oligarki selalu mengupayakan keadaan kesenjangan material dan politik secara ekstrem.

Argumen Robison dan Hadiz berbeda. Mereka menekankan pada penguatan korelasi negara dengan kelompok borjuasi. salah  satu argumen pentingnya ialah walaupun Orba sudah tumbang, relasi-relasi lama tetap bertahan dan  lebih terdistribusi melalui rencana desentralisasi. Lembaga-lembaga politik juga tidak bebas dari dampak kekuatan lama   ini, termasuk parpol. Kekuatan politik lama   ini justru memakai parpol menjadi sarana akumulasi kekayaan melalui proses-proses politik. Argumen tentang relasi oligarkis menganggap bahwa kegagalan liberalisasi ekonomi politik disebabkan oleh relasi kekuasaan yang masih bersifat otoriter, termasuk dalam partai politik.

  1. Argumen di media sosial “transformasi relasi oligarki”

Pendekatan relasi oligarki dibangun di atas kritik tentang kelembagaan baru pasca-otoritarian. Argumen penting berasal pendekatan ini merupakan bagaimana oligarki politik-bisnis secara kompleks bisa mengatur ulang kekuatan mereka serta mengamankan kepentingan kolektifnya. Kita mampu memeriksanya di dua krisis ekonomi Indonesia: krisis moneter 1997 serta krisis pandemi.

Relasi oligarki pada masa krisis 1997 bisa menyesuaikan gejolak ekonomi. Oligarki yang kolaps sebab menghadapi krisis akhirnya mampu mengorganisasi ulang kekuatannya dan menghadapi ”pendisiplinan pasar”. Robison dan  Hadiz mengungkapkan bahwa relasi oligarki telah mampu membentuk kumpulan sosial yang baru dengan cara membajak serta memanfaatkan lembaga-lembaga baru Reformasi.

Relasi kuasa yang terbentuk pasca krisis 1997 juga terlihat pada krisis pandemi 2020, bagaimana relasi politik-bisnis menangani krisis dengan menempatkan kepentingan ekonomi sebagai agenda utama, hingga bagaimana konfigurasi kekuasaan yang bersifat predatoris terkonsolidasi pada situasi krisis kesehatan.

Setidaknya ada tiga corak kekuasaan dalam relasi oligarkis yang telah beradaptasi dan bertransformasi pasca Orde Baru. Pertama, berbeda dengan era Orde Baru yang aliansi politik-bisnisnya selalu “mengganggu” ekonomi pasar, relasi oligarkis pasca Orde Baru telah mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan penanganan pandemi berdasarkan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pro korporasi. Kedua, agenda desentralisasi sebagai resep ampuh pasar pascakrisis 1997 telah membuat relasi oligarkis tersebar dan menguat di level lokal. Dari level pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah, simpul-simpul formasi politik-bisnis dibentuk dan diperkuat. Ketiga, terbentuknya lembaga baru pasca Orde Baru yang “unik” yang nantinya akan menjadi medium anyar bagi relasi oligarkis.

Partai politik menjadi media strategis bagi hubungan oligarki karena rezim pemilu pasca Orde Baru menjadi agenda sentral dalam proses pertahanan dan legitimasi perebutan kekuasaan. Partai politik bahkan muncul sebagai media konsolidasi kekuatan kepentingan politik dan bisnis. Seperti dilansir Koran Tempo pada 2019, sebanyak 262 atau 45,5 persen dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2019-2024 memiliki afiliasi dengan (setidaknya) satu perusahaan atau sosok dengan latar belakang pengusaha. Belum lagi, hampir separuh partai politik di Indonesia diketuai berlatar belakang konglomerat nasional seperti Surya Paloh (Partai Nasdem), Hary Tanoesoedibjo (Perindo), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Suharso (PPP), hingga Tommy Suharto (Partai berkarya).

  1. Pemilu 2024 sama saja.

Selain mengumumkan nama-nama lama, pemilu 2024 telah meluncurkan calon presiden “baru” seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Puan Maharani. Namun jika dicermati lebih dalam, di balik nama-nama baru tersebut juga terdapat oligarki sebagai patronnya.

Surya Paloh, konglomerat media sekaligus pendiri dan pemilik Partai Nasdem, pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem Juni lalu mengumumkan tiga nama calon presiden 2024 sebagai hasil rekomendasi dari seluruh DPW DPR RI. Partai Nasdem Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar pranowo. Ketiganya, kata Paloh, memiliki peluang yang sama untuk menang di Pilpres 2024.

Bahkan, baru-baru ini dalam reportase majalah Tempo edisi 25 Juni 2022 terungkap ada hubungan konsolidasi antara Thomas Lembong (mantan Menteri Perdagangan Jokowi), Sunny Tanuwidjaja (pendiri Partai Solidaritas Indonesia/PSI), dan Anies Baswedan. Jika laporan Tempo benar, maka pertengkaran sehari-hari antara loyalis Jokowi dan Anies Baswedan yang dianggap kritis bisa diabaikan.

Ganjar Pranowo adalah nama calon presiden berikutnya yang sering terdengar. Politisi PDIP ini selalu dibanding-bandingkan dengan putri Ketua Umum PDIP, Puan Maharani, yang juga disebut-sebut sebagai calon presiden potensial. Di luar PDIP, Ganjar didukung elit politik nasional melalui Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) besutan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. KIB yang merupakan koalisi Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PAN disebut sebagai “perahu penyelamat” Ganjar jika tidak dicalonkan oleh PDIP. Nama Luhut Binsar Panjaitan, veteran Golkar, tangan kanan Jokowi dan konglomerat pertambangan, disebut juga mendukung koalisi tersebut.

Tak hanya tokoh baru yang muncul di Pilpres 2024. Para konglomerat pun langsung “turun gunung” untuk memeriahkannya. Mereka adalah Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Laporan Proyek Multatuli (2020) bertajuk ”Profil & Peta Hubungan Bisnis dan Politik 10 Oligark Batubara Terbesar di Indonesia di Bawah Pemerintahan Jokowi” menunjukkan bagaimana bisnis pertambangan keduanya aktif. Keduanya secara masif memperkenalkan diri sebagai calon presiden baik melalui “deklarasi” pendukungnya di berbagai daerah. Sayangnya, keduanya merupakan menteri di kabinet Jokowi. Praktis, ini menguntungkan keduanya karena mereka dengan mudah memanfaatkan agenda pemerintah untuk kepentingan pencalonannya.

Dari konfigurasi politik tersebut, terlihat jelas bagaimana capres 2024 akan sangat ditentukan oleh relasi oligarkis. Meski aliansi ini masih sangat sementara, jelas bahwa partai politik tidak beroperasi berdasarkan ideologi dan kekuatan garis bawah partai, melainkan semata-mata berdasarkan kepentingan ekonomi politik elit nasional.

  1. Letupan Media Sosial, kekuatan gerakan progresif

Strategi politik melalui pencitraan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang diunggah di media sosial menggambarkan adanya perbedaan kesadaran akan pencitraan melalui layar masing-masing pasangan calon. Ada hal menarik yang bisa dilihat dalam pencitraan pilpres tentang pemanfaatan anak muda, anak sekolah sebagai objeknya. Hampir semua pasangan calon menjadikan anak sebagai daya tarik utama dan seolah-olah pendidikan anak masih belum terlaksana dengan baik, hal ini terlihat pada beberapa pasangan calon yang secara visual menggambarkan sekolah yang terlihat kurang memadai dari segi fasilitas.

Penggunaan pemuda sebagai target politik pemilu ditunjukkan melalui visual yang kreatif. Kaum muda sebenarnya mengungkapkan aspirasinya dengan membuat lagu dan membuat video. Yang muncul justru bisa jadi pencitraan yang dilakukan oleh orang lain dalam menyampaikan aspirasinya kepada pasangan calon yang didukungnya. Proses pencitraan harus menyampaikan pesan-pesan yang dapat mengubah pandangan masyarakat agar percaya dan yakin terhadap pesan-pesan politik yang telah disampaikan oleh calon presiden dan wakil presiden. Ketidaksesuaian pesan yang disampaikan dengan kondisi kehidupan khalayak akan berdampak buruk bagi masyarakat. Pemilih untuk satu pasangan calon boleh saja pindah ke pasangan calon lain yang sesuai dengan harapan dan kondisi masyarakat. Meyakinkan masyarakat melalui pesan pencitraan yang dibuat, perlu didekatkan dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat secara keseluruhan. analisis awal ini menjadi peringatan dini pada gerakan progresif untuk membentuk aliansi yang lebih efektif menggempur kekuasaan oligarki melalui media sosial.

KESIMPULAN

Penjelasan konsep Oligarki oleh Winters, dan juga perbandingan dengan pendekatan lainnya di atas, tidak untuk membingungkan kita semua. Tetapi kebalikannya, uraian tersebut bermanfaat buat bisa memandang Oligarki selaku keadaan obyektif yang nyata dalam politik Indonesia dikala ini. Dengan demikian, problem- problem politik kontemporer dikala ini dapat dijejakkan dan dikaitkan dengan dinamika Oligarki yang terus menerus berupaya mempertahankan dirinya. Penjelasan ini pula bermanfaat sebagai upaya untuk memikirkan kembali, untuk Gerakan Rakyat yang senantiasa berupaya mencari alternatif di luar ekonomi politik Neoliberal dan Oligarki ini, mengenai strategi ke depannya. Kita perlu ingat kalau‘ strategi yang kongkret harus berbasis pada keadaan yang kongkret’.

Sebagaimana kita pahami kalau Oligarki ini ialah peninggalan Orde Baru, selain upaya kembali pada model- model politik stabilitas ala Orde Baru, hingga upaya melawan Orde Baru belumlah usai hingga saat ini. Jadi kewajiban untuk kita seluruh serta menuntut suatu keterorganisiran sosial yang mempunyai kemampuan mobilisasi untuk menumbangkan sekaligus merebut politik dari tangan Oligark. Hingga, harapan menuju “Indonesia Baru tanpa Orde Baru” bisa dimungkinkan.

Di satu sisi bukti-bukti tersebut telah memperlihatkan kepada kita bagaimana suramnya Pemilu 2024 esok. Namun, di sisi lain, analisis awal ini menjadi peringatan dini pada gerakan progresif untuk membentuk aliansi yang lebih efektif menggempur kekuasaan oligarki melalui media sosial.

Pada akhirnya, jika kita hanya diam dan tidak melakukan apa pun di media sosial untuk mengkritik Oligarki, yang kemudian menjadi pertanyaan buat kita: apakah kita hanya akan terus menjadi penonton dari permainan catur politik para oligark ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top